Title: Because I Love You
Author: @MeydaaWK
Cast:
-Zhang Yi Xing (Lay)
-Lee Eun Woo (Hana P.A)
Rating: Teenager
Genre: Sad, Romance, Love Story
Length: Series xD
Author Note:
Annyeong~
Mian lama ngelanjutinnya -__-
sekrg ini bukan twoshoot tapi chaptered mungkin ._.
langsung aja yaa ^^
Previous Chapter: Chapter One
Check It Out!
Happy Reading~
_______________________
Setelah meletakkan sentuhan
terakhir, aku langsung membungkus kue tar bewarna cerah itu ke dalam
kardus khusus kue yang telah kusiapkan sebelumnya. Selesai. Semoga
saja dia menyukai pestaku kali ini.
“Eun Woo-ya, kau mau kemana lagi?
Bertemu dengan Lay?”
Yeah, entah kenapa, Yi Xing menolak
dipanggil Yi Xing lagi dan menyuruh kami memanggilnya ‘Lay’. Aku
tidak tahu kenapa. Tapi kuturuti saja.
“Nde, Ah Reum-ya. Apa kau mau
ikut?” Tanyaku sambil memasukkan barang-barang yang akan kubawa ke
dalam ransel mungilku.
“Aniya, aku tidak mau mengganggu
pasangan baru.” Celetuknya sambil menjulurkan lidahnya. Kemudian
dia tertawa terkekeh.
“Dasar!” Seruku, melempar box
tisu yang terbuat dari kertas. “Aku pergi~ Annyeong!”
Aku langsung menarik sepatu bot
buluku, cepat-cepat memakainya dan langsung keluar rumah menuju
halte. Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya bus jurusan yang
kutunggu sampai. Dengan semangat aku masuk dan menunjukkan kartu
pasku, kemudian duduk di pojok. Kursi favoritku.
_________
Aku kembali melirik arloji putih di
tangan kiriku. Sudah pukul lima sore, kemana Lay? Apa dia lupa
tentang janji temu kami? Aku kembali mengembuskan napas panjang, uap
putih keluar dari mulutku. Dingin.
Tidak, pasti Lay akan datang disini.
Mungkin Seoul sedikit macet, atau dia sedikit lupa dengan jalan
menuju desa kami. Atau…
Aku memandangi meja kayu yang telah
kuhias sedemikian rupa, sehingga imej meja usang sudah hilang.
Kugerak-gerakkan pita-pita di ujung meja, masih menunggu. Sudah satu
jam aku menunggu Lay. Beruntung sekarang aku mengenakan pakaian
hangat yang tebal.
Akhirnya, kukeluarkan ponselku dan
menyambungkannya ke ponsel Lay. Beberapa kali terdengar nada sambung,
kemudian nada sambung itu tidak terdengar lagi, dan berganti dengan
suara Lay.
“Annyeonghaseyo, waegeurae Eun
Woo-ya?”
“Lay-ah, kau dimana?”
“Aku ada di makam Naeri.”
“Apa kau melupakan sesuatu?”
“Mm, apa ya? Ayolah, jangan
bertanya macam-macam. Aku harus menutup telepon.”
“Tapi Lay-ah, ini—hari ini…”
“Sudahlah, Eun Woo-ya, tidak ada
yang lebih penting daripada Naeri. Annyeong.”
KLIK.
“Hari ini adalah hari ulang
tahunku…”
Air mataku mengalir. Kuremas erat
bagian bawah sweter yang kukenakan, berusaha agar air mataku tidak
terlalu banyak mengalir. Gagal. Sekali lagi, Lay menyakiti hatiku
lagi.
__________
Author POV
Phone Calling: Lay~
Reject. Lagi. Lagi. Dan lagi.
Eun Woo kembali fokus pada e-mail di
hadapannya yang mengisahkan tentang seorang yeoja yang selalu
disakiti oleh sahabatnya—yang dicintainya secara diam-diam—namun
yeoja itu tidak bisa melakukan apapun, kecuali menerima. Hampir sama
persis dengan kisahnya. Bedanya, namja itu masih memiliki
yeojachingu, dan Lay tidak.
Selesai mengedit yang satu ini, Eun
Woo mengirimkan hasil editannya dan membuka e-mail yang lainnya.
Masih ada sekitar tiga novel lagi. Eun Woo tersenyum ketika melihat
siapa nama tokohnya, Lee Eun Woo. Nama yang sama persis dengannya.
“Ya, Eun Woo-ya!” Seru Ah Reum
tiba-tiba, mengagetkan Eun Woo yang tengah serius. Eun Woo menatap Ah
Reum dan melemparkan pandangan beracunnya. “Kau ini kenapa? Baru
saja Lay meneleponku, dia bilang kau tidak pernah mengangkat
teleponnya lagi.”
“Oh ya? Memangnya dia
meneleponku?” Tanya Eun Woo, berpura-pura bodoh. “Mmm, mungkin
aku tidak sengaja menekan tombol reject.”
“Cepat telepon dia,”
“Aku sibuk sekali sekarang.
Mungkin nanti. Oke, Ah Reum-ah? Sekarang, biarkan aku berkonsentrasi
lagi.”
Ah Reum menghela napas. Dia tahu ada
yang Eun Woo sembunyikan. Tapi dia tidak tahu apa itu. Dengan cepat
dihirupnya teh herbal di hadapannya. Kepalanya pusing. Pasti ada
masalah.
Ingatan Ah Reum terbang ketika Eun
Woo pulang, masih membawa kardus berisi kue tarnya, dan matanya merah
dan sembap. Entah apa yang terjadi pada Eun Woo dan Lay. Yang dia
tahu, sejak saat itu, Eun Woo sering melamun dan bahkan gadis itu
tidak pernah sudi bertemu dengan Lay.
Ah, pasti ada sesuatu yang terjadi
pada mereka berdua. Pikir Ah Reum. Tangannya segera meraih ponselnya
dan menekan nomor ponsel Lay. Sedetik kemudian, terdengar suara berat
dari sana.
“Lay-ah? Jangan bertanya dulu. Kau
hanya perlu menjawab, oke?”
“Hmmm…” sahut Lay dengan
bingung.
“Apa kau bertemu dengan Eun Woo
minggu kemarin?”
“Aniya.”
“Nah, itu masalahnya.” Pekik Ah
Reum tiba-tiba. Pasti Eun Woo merasa marah sekaligus terluka sekali
ketika tahu bahwa orang yang dinantikannya tidak datang. “Kau
kemana saja?!”
“Aku di makam Naeri. Waeyo Ah
Reum-ah?”
“Jinjja!” Seru Ah Reum kesal,
lalu mematikan sambungan teleponnya. Dia merasa Lay begitu egois
kepada sahabatnya. Padahal, Ah Reum yakin dia mendengar dengan
telinganya sendiri ketika Lay menyanggupi janji bertemu dengan Eun
Woo kemarin Minggu.
_______________
Eun Woo’s POV
Apa kau pernah merasa begitu kecewa
sekaligus sakit hati dalam waktu bersamaan? Mungkin tidak. Tapi aku
seringkali merasakan sakit ini ketika Lay kembali membatalkan
janjinya denganku. Aku tidak tahu kenapa hatiku terasa sakit, apa
perasaanku masih ada padanya? Kenapa dia tidak kunjung menghilang?
Apa begitu berat membuatku merasakan kebahagiaan, bahkan untuk
sebentar saja? Entahlah, tapi rasanya seperti Tuhan marah kepadaku.
Hari ini, aku begitu lelah sampai
memutuskan tidak berangkat bekerja dulu. Jadi pagi ini, aku langsung
bersiap kembali ke desa. Mungkin tinggal bersama Halmeoni selama
beberapa saat bisa membuat pikiranku jernih kembali.
Selesai mengepak barang-barangku
yang tidak banyak, buru-buru aku keluar dan mencari bus jurusan desa.
Lama sekali aku menunggu, ketika bus itu akhirnya sampai.
____________
Setelah setengah jam perjalanan
dengan bus yang super-duper membosankan. Beruntung aku tidak
melupakan I-Podku yang berharga. Dan, well, sekarang aku
terpaksa berjalan kaki menuju bawah bukit—tempat Halmeoni berada.
Udara hangat, aku akhirnya melepas
sweterku dan menalikannya di pinggang. Agak sedikit berat, mengingat
itu adalah sweter tebal dari wol. Aku menatap keadaan sekitar,
kemarin—sebelum Naeri meninggal—aku nongkrong di desa ini. Tapi
rasanya sekarang berbeda, meski tujuanku sekarang dengan kemarin
sama.
“Eun Woo?!” Seru seseorang, aku
langsung berbalik dan mendapati bahwa Lay ada disini, di
dekatku. “Sedang apa kau disini?”
“Well, bukannya seharusnya
aku yang bertanya begitu?” Sindirku sambil menatapnya yang
menenteng-nenteng SLR-nya.
“Oh ya. Tapi beberapa kali aku
kesini,” sahut Lay sambil membidikkan kameranya kearah pemandangan
di belakangku. (Semoga wajahku tidak kelihatan!)
“Uhmm. Ya sudah, silakan lanjutkan
acara memotretmu,” ujarku sambil buru-buru menjauh. Rasanya aku
masih sedikit sakit hati dan kecewa padanya. Bisa-bisanya dia masih
bisa berkata kepadaku seakan dia tidak mempunyai kesalahan!
“Aku ikut. Kau mau kemana?”
“Aku mau pulang ke rumah Halmeoni.
Kau benar-benar mau ikut?” Semoga tidak.
“Tidak apa-apa. Aku sedikit
kelaparan,”
Aku menghela napas dan mengangguk.
Gagal sudah rencanaku menjauh darinya. Kami berjalan bersama di
sepanjang padang rumput yang terhampar. Beberapa kali aku mendapati
moncong SLR-nya menghadap ke arahku. Tapi aku tidak berani
memarahinya. Bisa saja dia memotret pemandangan di belakangku dan
bukannya aku. Jadi, pasti memalukan jika aku memarahinya
tiba-tiba.
___________
Lay POV
Lucu sekali!
Beberapa kali aku memotret wajah Eun
Woo yang sedang fokus pada jalanan di depannya. Sepertinya dia tidak
menyadari itu karena dia sama sekali tidak marah dan membentakku.
Tapi, rasanya ada yang berbeda dengannya. Sepertinya, dia sedikit
menciptakan jarak denganku.
Ada apa? Aku tidak merasa memiliki
salah dengannya.
“Ayo, sudah sampai. Ayo masuk,”
ajaknya tiba-tiba ketika kami melewati rumah kayu di kanan jalan.
Rasanya aku masih ingat rumah ini. Memang, dulu kami sering bermain
bersama disini.
Aku hanya mengangguk dan akhirnya
melepas sepatu kemudian masuk ke dalam. Bau daging tercium sampai di
depan. Mungkin Eun Woo sudah memberitahu neneknya jika dia akan
datang.
“Annyeonghaseyo, Halmeoni…”
sapa Eun Woo sambil menyibak kerai dari kain yang lembut.
Seorang wanita tua, yang cukup
kukenal wajahnya keluar dengan mata berbinar-binar. Pasti ini nenek
Eun Woo. Aku memang sering melupakan wajah-wajah yang sudah lama
tidak kulihat. Bahkan saat itu, aku hampir melupakan wajah Eun Woo.
Memang aneh, tapi bahkan dokter tidak dapat mendeskripsikan
alasannya.
“Eun Woo-ya, kau membawa pulang Yi
Xing?” Tanya Halmeoni sambil menatapku.
Well, apa Halmeoni sedang
menyindirku? Dia bahkan masih ingat dengan jelas padaku, sementara
aku tidak. Lagipula, sepertinya Halmeoni sudah sangat tua. Bagaimana
dia bisa mengingat selama itu?!
“Annyeonghaseyo, Halmeoni.”
Kataku sambil membungkuk Sembilan puluh derajat.
Halmeoni hanya tersenyum, lalu
mempersilakan kami masuk ke dalam rumahnya. Bau masakan tercium dari
ruangan depan, bahkan aku yakin Halmeoni sedang membuat sup kimchi.
Tiba-tiba, aku merasa ini adalah
tempatku. Aku tidak mengerti apa sebabnya, tapi tiba-tiba aku
yakin aku akan bahagia jika aku berhasil melupakan Naeri dan
mulai melihat Eun Woo…
__________
Author POV
Eun Woo menatap pemandangan sekitar
dengan pandangan kagum. Sudah lumayan lama dia tidak berkunjung
disini. Suasana sudah banyak yang berubah, bahkan sekolah dasarnya
dulu pun sudah berubah. Beberapa kali, rumput-rumput liar menyapu
kakinya yang tidak tertutup karena dia sedang memakai celana pendek.
Tapi Eun Woo mengacuhkannya dan tetap memandang kagum. Memang dia
sering kesini ketika kecil, tapi itu pasti sudah terjadi sekitar lima
tahun yang lalu. Bahkan, dia tidak pernah punya waktu untuk
berkunjung disini ketika sudah bekerja. Pekerjaan sebagai editor dari
perusahaan editor terkenal membuatnya terlalu sibuk dengan dunia
kerja yang memusingkan.
“Eun Woo-ya, lihat disana,” kata
Lay tiba-tiba sambil menunjuk sebuah pohon lebat yang indah. Di
belakang pohon itu, ada sebuah bukit tinggi yang jauh.
“Waeyo? Apakah ada hal yang—”
Klik. Kamera yang dibawa Lay
berbunyi ketika empunya meng-klikkan tombol potret ke arah Eun Woo.
“YA! Cepat hapus itu!” Seru Eun
Woo sambil berusaha merebut kamera milik Lay. Wajahnya pasti terlihat
bodoh dan menggelikan di potret itu. Aissh, sialan!
“Andwae! Ini untuk
kenang-kenangan, kameraku terlalu dipenuhi oleh potret Naeri. Aku
harus memotret sesuatu yang lain,” kata Lay dengan santai sambil
kembali memotret sekitarnya.
Apa itu sebuah tanda bahwa kau
sudah siap untuk melihatku?! Batin Eun Woo sambil tersenyum
sedih. Di lubuk hatinya, dia yakin sekali rasa itu masih ada. Bahkan
sepertinya perasaan itu semakin besar saja. Gwenchana, batinnya
sekali lagi. Dia masih punya kesempatan untuk mengisi hati Lay dengan
namanya.
__________
“Yah, cepat sekali kita pulang.”
Desah Eun Woo keras-keras ketika mereka berdua masuk ke dalam mobil
Lay yang dititipkan di ujung desa.
“Ini sudah tiga hari, Eun Woo
ppabo!”
“Kau yang ppabo!” Seru Eun Woo
sambil memukul lengan Lay dengan kotak tisu yang ada di dasbor. “Ayo
yang cepat, kita balapan dengan mobil yang di depan itu!”
“Baiklah, kalau itu maumu.” Kata
Lay santai, lalu tersenyum licik dan mempercepat laju mobilnya
menjadi dua kali lipat.
“Wuaaa!!” Pekik Eun Woo ketika
mobil sport Lay menyalip-nyalip dengan gesit dan mengerem
ketika hampir menabrak. “Haha! Ayo kita salip mobil itu!”
Lay kembali mempercepat mobilnya,
ketika dia teringat satu hal.
DCIIIITTT…. Sedetik kemudian,
suara rem terdengar memekakkan telinga. Mobil Lay sontak berhenti
ketika Lay tidak menyalakan gas lagi dan menghentikan mobilnya di
pinggir jalan.
“Waeyo, Lay-ah? Gwenchana? Ayo
cepat, mobil di depan sudah menjauh lagi!”
Lay merasa kepalanya berdenyut
menyakitkan, dia sampai harus memeganginya supaya sakitnya sedikit
berkurang. Gagal. Tidak ada yang terjadi. Dia merasa jijik dengan
dirinya sendiri.
“Lay-ah, gwenchana?! Ada apa?”
Tanya Eun Woo lagi, kali ini terdengar khawatir.
“Aku melupakan setahun
meninggalnya Naeri…” Kata namja itu dengan sedih lalu menatap Eun
Woo penuh harapan. “Eun Woo-ya, bisakah kau pulang sendirian? Aku
ingin pergi ke makam Naeri.”
Tiba-tiba, harapan yang kemarin
begitu besar di hati Eun Woo menyusut tiba-tiba. Dia mulai bisa
membaca segalanya. Bahwa kenyataannya, Lay masih belum bisa
melihatnya…
Dengan air mata menggenang, Eun Woo
mengangguk dan langsung keluar dari dalam mobil lalu berjalan menuju
halte. Tepat ketika langkahnya yang kedua, airmatanya jatuh terurai
begitu saja.
____________
“Naeri-ya,” sapa Lay ketika dia
berjongkok di hadapan makam Naeri yang tanahnya masih sedikit basah.
“Bolehkah aku bertanya kepadamu?”
Desah angin yang menjawabnya.
“Jika boleh, bolehkah aku
melupakanmu?” Tanya Lay dengan pilu. “Maafkan Oppa. Maafkan
Oppa…” bisiknya dengan sangat pelan. “Belum kering tanah ini,
dan Oppa sudah jatuh cinta kepada orang lain. Mianhaeyo, Naeri chagi.
Mianhaeyo…”
T B C
Nantikan part selanjutnya~ ^^
Ghamsahamnida ^6^
0 komentar:
Posting Komentar